Entah
, tepatnya kapan semua ini terlihat. Namun jelas sudah, malam itu datang
membiarkan hati ini kembali menangis.
Apa
? mengira hati ini patah hati lagi ? atau menduga bahwa kesepian terlalu lama
bersemayam ?
Bukan.
Semua ini bukan tentang itu.
Tidak
ada unsur objektif yang akan dijadikan kambing hitam dalam skenario ini.
Ini,
hanyalah tentang suatu fakta, yang cukup ‘sakit’ ketika menyadari kebenaran
ini.
Fakta
bahwa sesuatu di masa depan tak selamanya meninggalkan cerita di masa lalu.
Apalagi mengenai perasaan.
Fakta
yang menjelaskan bahwa sesuatu apa pun itu baik kedekatan atau pun komunikasi,
tidak akan menjamin nasib dari perasaan itu. tidak ada jaminan bahwa kamu adalah
orang di masa depannya tanpa celah dari perasaan masa lalu. Kamu takkan pernah
bisa mengubah cerita yang pernah ada, atau pun menggantikan peran yang pernah
ada.
Entahlah…
Hujan
mengguyur bumi semakin derasnya. Apakah kehadirannya sengaja menyertai tangis
ini ? atau sebagai isyarat bahwa aku boleh menangis sekencang-kencangnya karena
takkan ada manusia yang mendengar ? atau sebagai suatu kabar gembira, bahwa
pelangi akan hadir setelah hujan? (hmm, tapi ini malam, bagaimana mungkin bisa
melihat pelangi). Ya aku rasa kabar gembira, membiarkan malam yang kelam
berlalu, dengan datangnya pagi yang cerah dan bersih :’).
Tapi
yang aku ingat saat itu adalah bahwa salah satu waktu yang tepat untuk berdo’a
adalah ketika hujan. Maka (sedikit tersedu, dan terisak), aku membisikkan
kepada Sang Maha Cinta,
Memohon
kepada-Nya, agar kelak dia mendapatkan yang terbaik, tapi bukan aku. Karena
sejujurnya, aku tak ingin lagi merasakan sakit, apalagi perasaan sakit yg
merupakan replikasi beberapa tahun yang lalu.
Meminta
kepada-Nya agar dia, tak sekali pun mengingatku. Agar ia melupakan semua
tentang ku entah sebagai apa dihatinya. Agar aku diijinkan menghilang dari
hidupnya. Bahkan aku tak berharap hadir kembali dalam hidupnya sebagai sosok
yang baru yang ia harapkan.
Aku
hanya ingin benang yang menghubungkan aku dengannya putus begitu saja, lalu
hilang.
Aku
(begitu marahnya dan mengutuki kesialan perasaan ini) berharap, bahwa aku tak
perlu lagi berjumpa dengannya. (bahkan masih, mata ini menitikkan air mata, :’(
atas harapan yang bodoh ini).
Ketika
rasa itu akhirnya menunjukkan bayangan yang sesungguhnya, yang terlihat
dicerimin itu adalah kosong. Tidak ada kilauan yang sering disebut orang
sebagai ‘rasa’ itu. karena sebenarnya rasa itu hadir akibat pemikiran ini yang
terlalu panjang. Yang terlalu cepat menerka dan mengambil keputusan. Menilai
bahwa segala yang terjadi adalah sebagai proses tumbuhnya sebuah rasa. Dan
sekarang semua jelas, itu salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar