Selasa, 29 April 2014

Menepuk Angin... (lalu)

Entah , tepatnya kapan semua ini terlihat. Namun jelas sudah, malam itu datang membiarkan hati ini kembali menangis.
Apa ? mengira hati ini patah hati lagi ? atau menduga bahwa kesepian terlalu lama bersemayam ?
Bukan. Semua ini bukan tentang itu.
Tidak ada unsur objektif yang akan dijadikan kambing hitam dalam skenario ini.
Ini, hanyalah tentang suatu fakta, yang cukup ‘sakit’ ketika menyadari kebenaran ini.
Fakta bahwa sesuatu di masa depan tak selamanya meninggalkan cerita di masa lalu. Apalagi mengenai perasaan. 
Fakta yang menjelaskan bahwa sesuatu apa pun itu baik kedekatan atau pun komunikasi, tidak akan menjamin nasib dari perasaan itu. tidak ada jaminan bahwa kamu adalah orang di masa depannya tanpa celah dari perasaan masa lalu. Kamu takkan pernah bisa mengubah cerita yang pernah ada, atau pun menggantikan peran yang pernah ada.
Entahlah…
Hujan mengguyur bumi semakin derasnya. Apakah kehadirannya sengaja menyertai tangis ini ? atau sebagai isyarat bahwa aku boleh menangis sekencang-kencangnya karena takkan ada manusia yang mendengar ? atau sebagai suatu kabar gembira, bahwa pelangi akan hadir setelah hujan? (hmm, tapi ini malam, bagaimana mungkin bisa melihat pelangi). Ya aku rasa kabar gembira, membiarkan malam yang kelam berlalu, dengan datangnya pagi yang cerah dan bersih :’).
Tapi yang aku ingat saat itu adalah bahwa salah satu waktu yang tepat untuk berdo’a adalah ketika hujan. Maka (sedikit tersedu, dan terisak), aku membisikkan kepada Sang Maha Cinta,
Memohon kepada-Nya, agar kelak dia mendapatkan yang terbaik, tapi bukan aku. Karena sejujurnya, aku tak ingin lagi merasakan sakit, apalagi perasaan sakit yg merupakan replikasi beberapa tahun yang lalu.
Meminta kepada-Nya agar dia, tak sekali pun mengingatku. Agar ia melupakan semua tentang ku entah sebagai apa dihatinya. Agar aku diijinkan menghilang dari hidupnya. Bahkan aku tak berharap hadir kembali dalam hidupnya sebagai sosok yang baru yang ia harapkan.
Aku hanya ingin benang yang menghubungkan aku dengannya putus begitu saja, lalu hilang.
Aku (begitu marahnya dan mengutuki kesialan perasaan ini) berharap, bahwa aku tak perlu lagi berjumpa dengannya. (bahkan masih, mata ini menitikkan air mata, :’( atas harapan yang bodoh ini).
Ketika rasa itu akhirnya menunjukkan bayangan yang sesungguhnya, yang terlihat dicerimin itu adalah kosong. Tidak ada kilauan yang sering disebut orang sebagai ‘rasa’ itu. karena sebenarnya rasa itu hadir akibat pemikiran ini yang terlalu panjang. Yang terlalu cepat menerka dan mengambil keputusan. Menilai bahwa segala yang terjadi adalah sebagai proses tumbuhnya sebuah rasa. Dan sekarang semua jelas, itu salah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar